Saya mengetahui program 'Indonesia
Mengajar' pertama kali saat
melihat posternya di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan gambar Bung Karno
sedang mengajar. Program 'Indonesia Mengajar' ini berdiri
pada 2010 dan sudah mengirim lebih dari 240 Pengajar Muda dari lima angkatan
untuk mengajar selama satu tahun di berbagai sekolah di pelosok Indonesia. Saat
ini, Indonesia Mengajar sedang mempersiapkan angkatan keenam. Belasan ribu
sarjana Indonesia dari berbagai latar belakang perguruan tinggi, suku, dan
agama mendaftarkan diri. Ada proses seleksi yang panjang untuk menemukan mereka
yang paling berprestasi, memiliki semangat juang, berjiwa kepemimpinan, serta
mempunyai kreativitas dan motivasi untuk berbagi.
Anies Baswedan pernah mengajak membayangkan kalau semua alumni program 'Indonesia Mengajar' ini, suatu saat menjadi pemimpin di dunia bisnis, politik, dan sektor lainnya. Mereka yang sudah pernah menjadi pendidik di pelosok Indonesia akan menjadi pemimpin yang peduli pendidikan, yang memiliki kompetensi kelas dunia, dan memiliki pemahaman akan masyarakat yang utuh. Mereka bukan hanya tahu dan sadar, melainkan sudah mencoba membhaktikan diri bagi bangsa selama setahun di daerah-daerah yang sebagian besar tidak ada sinyal atau listrik.
Anies Baswedan juga pernah menceritakan, bagaimana salah seorang pengajar muda perempuan beragama Kristen dan bersuku Cina ditempatkan di daerah yang belum pernah mengenal orang berbeda suku dan agama. Setahun proses mengajar diakhiri dengan semangat persaudaraan yang tulus dan penuh kegembiraan antarsesama warga bangsa yang berbeda agama dan suku.
Salah satu inspirasi 'Indonesia Mengajar' agaknya adalah dari program serupa 'Teach for America', yang diikuti puluhan ribu sarjana di AS untuk mengajar selama dua tahun. Anies Baswedan mengatakan,
“Mereka yang terdidik mempunyai tanggung jawab moral untuk mendidik.”
Gerakan serupa dan yang diinspirasi Indonesia Mengajar, misalnya Kelas Inspirasi di berbagai kota seperti 'Solo Mengajar', dan 'Unair Mengajar'.
Sejauh saya tahu, sarjana Katolik yang terpilih untuk program 'Indonesia Mengajar' tidak lebih dari 10 orang. Hanya ada satu alumnus perguruan tinggi Katolik dari 240 Pengajar Muda. Saya sempat bertanya-tanya, mengapa? Saya yakin dan mendengar sendiri bahwa seleksi program 'Indonesia Mengajar' sangat fair dan tidak diskriminatif. Tapi bagi saya, itu bukan hal yang perlu kita perdebatkan. Kita masih bisa berkarya, bahkan dengan cara dan inspirasi yang sama. Semua kembali pada tanggung jawab kita sebagai orang Katolik.
Mungkinkah inspirasi 'Indonesia Mengajar' juga kita kembangkan di lingkungan Gereja Katolik? Saya membayangkan, mahasiswa dan sarjana Katolik bersama rekan-rekan sebangsa berani mengambil keputusan menyisihkan waktu untuk mengajar di berbagai sudut Indonesia dalam semangat berbagi.
Pengabdian semacam ini akan menjadi inspirasi sekaligus kaderisasi. Menjadi inspirasi, karena kehadiran kaum muda di berbagai sekolah akan menjadi role model anak-anak Indonesia untuk rajin belajar. Menjadi kaderisasi, karena semua orang muda yang belajar berbagi akan menjadi kader-kader bangsa yang sudah teruji pengabdiannya. Indonesia membutuhkan mereka untuk menjadi pemimpin bangsa: pemimpin bangsa yang sudah teruji kerelaannya untuk berbagi.
Saya merasa yakin, bahwa kota sekecil Ruteng-pun bisa melahirkan gerakan 'Ruteng Mengajar'. Inspirasi boleh sama, cara boleh sama, namun kepedulian adalah kunci dari langkah awal yang gemilang.
Semoga tulisan yang lahir karena sebuah inspirasi besar ini, juga terbaca oleh para pemimpin gereja di Keuskupan Ruteng dan sekitarnya, untuk kemudian sama-sama terinspirasi membuat sebuah gebrakan awal dalam proses pendidikan dan pembentukan kualitas generasi emas bangsa di Flores. Dan tidak sebatas terinspirasi, tapi juga beraksi.
Semoga...
Think Big Start Small!
0 komentar:
Posting Komentar