Sahabat sekalian mungkin pernah mendengar yang namanya The American Dream. ‘The American
Dream’ adalah sebuah ungkapan sangat populer yang menggambarkan etos bangsa
Amerika dalam melakukan mobilitas sosial untuk menggapai puncak kesuksesan
terlepas dari kelas, kasta, ras, agama, atau dari etnik mana mereka berasal.
Dalam karya klasiknya Epic of America (1931), penulis James Truslow
Adams mendefinisikan The American
Dream sebagai berikut:
“Life should be better and richer and fuller for everyone, with opportunity for each according to ability or achievement, regardless of social class or circumstances of birth.”
Dengan spirit ‘all men are created equal’, setiap
rakyat Amerika, apapun latar belakang mereka, punya kesempatan yang sama untuk
menjadi milyarder, bintang Hollywood yang moncer di seluruh jagad, atau tokoh
politik yang berlimpah kekuasaan. Karena itu The American Dream kemudian menjadi sebuah obsesi bagi setiap
rakyat Amerika dalam berjuang melakukan mobilitas sosial. Obsesi ini mulai
menjadi populer setelah Great Depression
tahun 1930-an dan mencapai critical mass
menyusul berakhirnya Perang Dunia II yang kemudian diikuti boom ekonomi Amerika Serikat.
Sosok-sosok ‘rakyat jelata’ yang berjuang dari nol hingga
menjadi tokoh sukses (from zero to hero) biasanya
didapuk sebagai ikon dari The American
Dream. Sebut saja tokoh-tokoh hebat, seperti Sam Walton, Elvis Presley, Michael Jackson,
Mohammad Ali, Michael Jordan, Bill Gates, Steve Jobs,
Donald Trump, Barrack Obama, Oprah Winfrey, hingga
Mark Zuckerberg. Mereka sering disebut sebagai ikon-ikon yang sukses
mewujudkan The American Dream, karena kerja keras sampai titik darah
penghabisan. Mereka ini adalah pribadi-pribadi yang menurut istilah saya
mempunyai heroic leadership.
#The Chinese Dream
Seiring dengan munculnya keajaiban ekonomi China, ide The American Dream pun kemudian diekspor
ke negeri Tirai Bambu ini. Seperti kita tahu, selama 15 tahun terakhir China
menikmati pertumbuhan yang luar biasa. Kalau pada tahun 1995 pendapatan
perkapitanya hanya sekitar $600, tahun lalu telah naik hingga 10 kali lipat di
atas $6000. Dalam kurun waktu yang sama, proporsi masyarakat kelas menengahnya
(dengan pengeluaran rata-rata sehari sebesar $2-20) meroket dari 55% menjadi di
atas 90%.
Kemajuan ekonomi yang luar biasa itu mendorong rakyat China memiliki
obsesi mobilitas sosial, persis seperti yang terjadi di Amerika. The
Chinese Dream dalam bentuk obsesi untuk menjadi kaya raya kini
melanda masyarakat China. Dalam bukunya, The
Chinese Dream, Helen Wang menemukan bahwa kalangan kelas
menengah China kini banyak yang terobsesi oleh apa yang ia sebut ‘The Chinese Dream’ yang menjadi
simbolisasi masyarakat mengenai kesuksesan yang ideal: memiliki rumah besar,
mobil mewah, rekening gendut, dan hidup bergelimang harta.
Tak heran jika kelas menengah China sangat American-minded.
Ujar Helen Wang,
“Many middle class Chinese are influenced by the American way of life. They are bombarded by many material temptations and proliferating choices. TV commercials, the Internet, and Hollywood movies give them a rosy picture of the American middle class.”
Sosok-sosok sukses bergelimang harta seperti Bill Gates atau
Mark Zuckerberg selalu mengiang-ngiang, menggoda otak dan sanubari mereka.
Peluang ekonomi luar biasa yang muncul akibat era keemasan China
menjadikan masyarakat di negeri Panda ini tak mau kehilangan momentum berharga
untuk mendongkrak status sosial ekonomi. Mereka yang menjadi profesional
bekerja keras hingga larut malam untuk mendapatkan promosi dan kenaikan gaji.
Sementara mereka yang membangun usaha berjuang keras untuk mencari peluang-peluang
agar bisnisnya mereka maju pesat. Hanya satu ‘agama’ mereka, yaitu: ‘S-U-K-S-E-S’.
Nah, melihat perkembangan ekonomi Indonesia yang luar biasa
sejak 5 tahun terakhir, saya mengamati, The
American Dream rupanya tak hanya memengaruhi China, tapi juga mulai
merasuki masyarakat kelas menengah Indonesia. Spirit masyarakat kelas menengah
kita untuk berjuang menaikkan status sosial kini sedang hot-hot-nya. Mereka berlomba-lomba bekerja keras untuk mewujudkan mimpi
mencapai kemapanan ekonomi. Mereka terobsesi untuk mewujudkan ‘The
Indonesian Dream’.
Tak mengherankan jika hampir semua hasil survei terhadap
konsumen kelas menengah yang dilakukan akhir tahun lalu, menghasilkan temuan
yang mengkonfirmasi hal ini. Mengambil istilah dari buku Yuswohady, C3000, dari delapan
segmen konsumen kelas menengah yang diidentifikasi, dua segmen dengan ukuran
terbesar yaitu climber (21,5%) dan performer
(18%) adalah kelompok masyarakat yang berorientasi menaikan status sosial dan
kesuksesan ekonomi. Mereka terobsesi oleh The
Indonesian Dream: rumah besar, mobil mewah, rekening gendut, hingga hidup
bergelimang harta.
Saya punya contoh gampang betapa obsesi The Indonesian Dream itu telah merasuki masyarakat kita. Pertama
adalah seminar. Coba buka koran, lalu cari apa saja jenis seminar yang sedang hot dan diminati masyarakat? Pasti Anda
akan mendapati bahwa yang diminati masyarakat tak jauh-jauh dari seminar
motivasi dan workshop yang memberikan trik-trik jitu untuk menjadi kaya-raya.
Bisa melalui jual beli saham, investasi emas (ups… banyak yang tertipu!?!), atau tentu yang paling hot adalah melalui jual-beli properti.
Yang paling ideal tentu adalah obsesi menjadi kaya raya
diwujudkan melalui kerja keras dan ketekunan. Dan itulah yang juga saya lihat
kini terjadi di Indonesia. Setidaknya di Jakarta dan berbagai kota besar di
Indonesia, coba saja lihat di gerai-gerai Starbucks, McCafe, atau
7-Eleven pada pukul 12 malam atau 1 dini hari. Di situ kita temui gerai
tersebut penuh sesak orang-orang yang sibuk bekerja: ada yang bersibuk ria
dengan laptopnya, ada yang sedang meeting,
atau ada yang mendiskusikan pekerjaan atau bisnis dengan kolega.
Karena itu saya berharap, seperti halnya yang terjadi di Amerika
dan China, obsesi The Indonesia Dream
ini akan menjadi ‘lokomotif’ dari kemajuan ekonomi Indonesia di tengah momentum revolusi
kelas menengah dan bonus demografi beberapa tahun ke depan. Ketika
semua orang berpikir untuk melakukan mobilitas sosial untuk menaikan kualitas
hidupnya, maka daya kreasi, inovasi, kewirausahaan, dan etos kerja
keras akan tumbuh subur di negeri ini. Ketika semua orang di negeri ini
optimis dan percaya diri bahwa kehidupan mereka akan lebih baik di masa depan,
maka itu merupakan ‘bahan bakar’ yang luar biasa bagi negeri ini untuk
menggulirkan sosio-ekonomi lebih kencang lagi.
Nah, apa korelasi dengan dunia anak, khususnya Sekami dalam
konteks pelayanan gereja?
Tentu saja seperti yang saya katakan di atas, The Indonesian Dream ini harus menjadi ‘lokomotif’ segala kemajuan, termasuk
kemajuan spiritualitas dan mentalitas (emosional). Anak-anak, khususnya
aktivitas Sekami harus mampu menggali daya kreasi, daya juang pantang menyerah,
kedisiplinan, etos belajar dan kerja yang excellent,
bahkan juga melahirkan jiwa kewirusahaan yang luar biasa. Setiap anak Sekami,
mulai sekarang harus mempunyai impian besar, yang bisa menjadi ‘bahan bakar’ unlimited untuk setidaknya menciptakan
semangat dan memengaruhi hidup mereka secara positif.
Kenapa harus sejak anak dan remaja?
Yups… benar sekali, segala sesuatu pasti selalu ada sisi gelapnya.
Barangkali korupsi adalah sisi gelap dari The
Indonesia Dream. Terus terang saya curiga, kenapa para koruptor kita selalu
punya semangat baja pantang-menyerah untuk mengkorupsi harta negara. Saya juga
heran kenapa para koruptor itu tak kunjung punya budaya malu menyunat uang
rakyat, padahal sudah puluhan bahkan ratusan koruptor dijebloskan ke penjara dan
diekspose di TV besar-besaran.
Kesimpulan sementara saya hanya satu: barangkali budaya malu itu
terkalahkan oleh obsesi The Indonesian
Dream yang begitu membara di hati para koruptor… obsesi untuk punya rumah
besar, mobil mewah, rekening gendut, hidup bergelimang harta. Uppsss…
Dan akhirnya, saya hanya bisa berharap
bahwa The Indonesian Dream ini bisa
menular ke kalian, anak-remaja Katholik dalam wadah Sekami, Mudika, atau
apapun. Bahkan, bisa jadi The Sekami Dream bisa menjadi inspirasi lahirnya The Flores Dream. Dahsyat...
Mari ciptakan The Sekami Dream
atau apapun istilahnya, yang lebih positif dan balance antara impian duniawi, mental, dan spiritual.
Think
Big Start Small…
0 komentar:
Posting Komentar