Pemuda
itu menangis tersedu. Butir-butir air mata membanjiri wajahnya yang terlihat
kuat langkahnya gontai tak bersemangat. “Aku seperti kehilangan panutan,”
bisiknya lirih. Perjalanan jauh ditempuhnya dari rumah hanya untuk menjumpai
seseorang yang selama ini dipanggilnya Bapak. Pemimpin, guru, tokoh idolanya
itu telah memberi banyak inspirasi dalam kehidupannya selama ini. Kepergiannya
untuk menyempurnakan kekaguman pada panutan hidupnya itu.
Tapi
apa yang disaksikannya?
Beberapa
hari mondok dan berguru, ternyata
Bapak tidak seperti yang diharapkan. Kehidupannya sama saja seperti manusia
lain. Bahkan sebenarnya tidak lebih dari manusia biasa yang penuh alpa. Semakin
hari, semakin terlihat segala perbuatan yang tidak sesauai dengan
ajaran-ajarannya selama ini. Yang membuatnya semakin kecewa, Bapak telah
menyelingkuhi Ibu, istri yang sekian lama mendampingi dalam susah dan senang.
Yups…
Itu jadinya jika kita mengidolakan ‘siapa’ dan bukan ‘apa’-nya. Selama dia
masih berwujud manusia, hendaknya kita bisa membedakan. Karena semakin kita
merasa mengenalnya, maka dia akan semakin jauh dari citra yang sesungguhnya kau
buat sendiri dalam pikiran-pikiranmu.
Mungkin
kita juga pernah mempunyai perasaan serupa. Kekaguman kita pada pemimpin, guru,
senio, selebritis, sahabat, bahkan orang tua kita sendiri, yang semula terlihat
begitu sempurna, pupus seketika karena sesuatu hal. Namun yang sebenarnya
terjadi adalah: cinta kita yang buta tidak memberi ruang sedikit pun kepada
sisi kemanusiaan mereka, yang mungkin tidak pernah sempurna dari siapa pun.
Berfokus
dan idolakanlah content, bukan context-nya. Bungkus, indahnya tidak
selalu berbanding lurus dengan isinya.
0 komentar:
Posting Komentar