Tahun ini, tepatnya 2
Oktober 2013, adalah perayaan 25 tahun karya pelayanan Sr. Gabriella, CB
sebagai seorang biarawati. Jika kita ibaratkan, menjadi seorang
biarawa/biarawati bagi gereja sebagai sebuah proyek, maka ini adalah sebuah
‘proyek percontohan berbiaya mahal’ tentang bagaimana memberdayakan potensi
diri untuk melayani sesama. Bisa dikatakan, proyek mercusuar di tengah kondisi
spiritualitas bangsa ini yang semakin amburadul tidak keruan. Tapi, usia 25
tahun (pesta perak) ini pun bisa menjadi oasis di tengah kerinduan akan
keraguan eksistensi umat Katolik secara umum di Indonesia, khususnya di
Keuskupan Ruteng. Dahsyat, Sr. Gabriella, CB (dan mungkin juga
biarawan/biarawati yang lain) bisa bertahan hingga sekarang!
Pertanyaan besarnya adalah,
apakah Sr. Gaby (demikian akrab disapa) sekadar bertahan dan bertahan? Apa
tidak mungkin untuk kemudian bertumbuh dan berkembang (tentu dalam konteks
kaderisasi)? Ini dia yang harus dijawab dengan tuntas melalui sebuah pemikiran
dan kerja yang tidak saja komprehensif, namun juga integrated.
Harus diakui, kita memang
bangsa yang piawai membikin dan mencetak (termasuk mencetak biarawan/biarawati),
tapi celakanya kita tidak pandai memasarkannya. Lebih celaka lagi, kita juga
ceroboh menjaga bikinan nenek moyang. Itu sebabnya, banyak biarawan/biarawati
keluar dari ‘penggilan’ hati dan lentera jiwanya sebagai pelayan Tuhan, bahkan
tidak jarang kita temui, banyak dari mereka yang pada akhirnya meninggalkan
Tuhan.
Namun, coba tengoklah
dengan mata hati yang jujur dan tulus akan capaian pelayanan Sr. Gaby dan
biarawan/biarawati lainnya hingga usia perak saat ini, bukan sebatas sebagai
sebuah keharusan dan kewajaran dalam berkarya dalam nama Tuhan. Pesta perak ini
harus dijadikan momentum untuk membuktikan bahwa Sr. Gaby dan
biarawan/biarawati lainnya adalah komunitas kecil yang siap memasarkan gereja
ke seantero jagat, dengan cinta kasih.
"Lupakan popularitas, lupakan kepentingan pribadi apalagi kelompok, dan fokus pada kampanye untuk menyelamatkan umat manusia dan gereja..."
Tulisan ini adalah catatan
kecil kami tentang kiprah Sr. Gaby selama kami mengenal beliau, seorang pribadi
yang bagi kami telah menemukan ‘lentera jiwa’-nya. Lentera jiwa sebagai pelayan
Tuhan di tengah tingginya hedonisme manusia modern saat ini.
Sebagian orang mengatakan
dalam hal pekerjaan, mereka lebih mencari ‘aman’ dengan menjadi karyawan di
buah perusahaan maupun lembaga pemerintahan, karena risikonya kecil. Sementara
orang lain, mengaku lebih memilih berwirausaha daripada bekerja untuk orang
lain dan tidak bahagia. Lentera jiwa seperti ini, oleh mereka dimaknai sangat
sempit: Siapa yang bekerja untuk dirinya sendiri, merekalah yang sudah
menemukan lentera jiwanya. Sementara mereka yang bekerja sebagai pegawai
perusahaan atau instansi pemerintah, adalah mereka yang belum menemukan lentera
jiwa mereka.
Menerjemahkan lentera jiwa
secara sempit seperti itu sungguh menyesatkan. Lentera jiwa seseorang tidak
ditentukan oleh apakah dia bekerja untuk orang lain sebagai karyawan atau
bekerja untuk diri mereka sendiri. Lentera jiwa seseorang juga tidak ditentukan
oleh jabatan, pangkat, gaji, atau jenis pekerjaan. Siapapun dia, apapun
pangkatnya, jabatannya, dan apapun jenis pekerjaa serta berapa pun gajinya, dia
bisa saja menemukan lentera jiwanya.
Pangkat tinggi, posisi di
puncak, dan gaji besar bukan ukuran yang dipakai untuk menilai apakah seseorang
sudah menemukan lentera jiwanya atau belum. Banyak yang memiliki kedudukan
tinggi, gaji besar, ternyata tidak bahagia dalam pekerjaannya. Kalaupun dia
tetap bertahan, lebih karena faktor rasa aman, tidak berani mengambil risiko,
atau sudah pada tahap ‘nrimo’ atas
nasibnya. Orang semacam ini belum menemukan lentera jiwanya.
Ukuran paling sederhana
untuk mengukur apakah dalam berkarya, dalam bekerja, kita sudah menemukan
lentera jiwa kita atau belum adalah kebahagiaan. Apakah dalam mengerjakan tugas
kita sehari-hari kita bahagia? Tidak peduli apakah kita bekerja sebagai
karyawan atau wirausaha, apakah kita bahagia? Tidak peduli gaji kita kecil atau
besar, apakah kita senang mengerjakan tugas yang diberikan kepada kita? Apakah
kita mengerjakannya dengan hati atau sekadar demi mempertahankan hidup?
Suatu hari, kami
berkesempatan ngobrol dengan Sr. Gaby tentang antusiasme beliau dalam pelayanan
gereja, melalui pendampingan terhadap anak-anak Sekami, selain aktivitas utama
beliau sebagai Direktur Karya Kepausan Indonesia Keuskupan Ruteng dan seabrek
aktivitas lainnya. Kami sangat penasaran, karena kami melihat antusiasme Sr.
Gaby dalam pendampingan itu, bahkan di saat kondisi fisik tidak mendukung
sekalipun. Bukankah pekerjaan melayani dan mendampingi anak-anak itu adalah
pekerjaan yang merepotkan dan melelahkan? Bahkan jika dilengkapi dengan fakta
bahwa Sr. Gaby setiap hari harus bolak-balik Ruteng-Mano dengan medan yang bagi
sebagian orang tentu sangat menegangkan. Sr. Gaby balik menatap kami dengan
pandangan aneh. ‘Saya senang, kok, mengerjakannya,’ ujar suster pada saya.
Obrolan singkat itu bagi kami
tentu penuh makna. Obrolan itu bisa menunjukkan lentera jiwa itu bukan milik
mereka yang berkedudukan tinggi, bergaji besar, dan hidup dalam kemewahan. Jika
kita bekerja sebagai pegawai negeri, dan kita bahagia mengerjakan tugas-tugas
kita, dan pekerjaan itu sesuai dengan cita-cita kita sewaktu sekolah dulu,
boleh jadi kita sudah menemukan lentera jiwa kita. Begitu pula kita yang keluar
dari pekerjaan kita sebagai karyawan, dan mengambil risiko meninggalkan
kedudukan dan gaji tetap kita, untuk merintis usaha yang kita sukai dan
ternyata membuat kita bahagia, bisa jadi kita juga sudah menemukan lentera jiwa
kita.
Bahkan bagi Sr. Gaby dan
biarawan/biarawati lainnya, mengambil risiko hidup dalam totalitas pelayanan
kepada Tuhan tentu bukan sesuatu yang mudah. Namun jika itu membuat Sr. Gaby
dan biarawan/biarawati bahagia, bukan sebagai sebuah kewajaran dan keharusan,
bisa jadi itulah penemuan lentera jiwa bagi Sr. Gaby dan kolega.
Pertanyaan selanjutnya,
apakah setiap orang harus dan bisa menemukan lentera jiwanya? Jawabannya
relatif. Ada yang sudah tahu lentera jiwanya ada di tempat lain, bukan menjadi
biarawan/biarawati, namun tidak berani atau tidak mampu menggapainya. Tidak
mampu atau tidak berani karena risiko yang dihadapi terlalu tinggi. Ada juga
yang sampai sejajuh ini belum mengetahui secara persis apa lentera jiwanya.
Bahkan mungkin hingga usia pelayanan lebih dari 10 tahun sekalipun. Dia belum
menemukan jawaban apa yang membuatnya bahagia dan bergairah untuk menjalaninya.
Lentera jiwa bukan
persoalan salah atau benar. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar di
sini. Persoalannya hanya pada keinginan kita untuk mencari dan memaknai
kebahagiaan sebagai manusia. Dalam konteks ini adalah pelayanan bagi umat dan
gereja. Namun, untuk mencapai kebahagiaan tersebut kadang seseorang harus
menempuh risiko.
Yups… selalu ada harga
yang harus dibayar dari setiap pilihan yang kita ambil, salah satunya risiko.
Itu kenapa saya analogikan di awal tulisan ini, bahwa seandainya pilihan hidup
menjadi biarawan/biarawati adalah sebuah proyek, maka itu adalah sebuah ‘proyek
mercusuar yang berbiaya mahal’. Tetapi seperti yang dikatakan Sr. Gaby pada
saya, ‘Ada sesuatu dalam hati ini yang selalu mengganggu. Sesuatu yang terus
mendorong saya untuk mendapatkan ‘sesuatu’. Sesuatu yang membuat saya merasa
bahagia…’ Mungkin itu yang Sr. Gaby sadari
bahwa ‘sesuatu’ itu adalah ‘lentera jiwa’-nya.
Balik ke pertanyaan besar
di awal tulisan ini, apakah Sr. Gaby sekadar bertahan dan bertahan? Tentu tidak
tepat jika pertanyaan itu hanya dijawab oleh Sr. Gaby sendiri. Ini mesti
menjadi refleksi kita semua yang hidup di sekitar beliau. Harus ada kekuatan
besar yang mampu mendorong lahirnya Sr. Gaby-Sr. Gaby baru. Pribadi-pribadi
baru yang tangguh, tidak cengeng, tidak mengerdilkan diri dengan menutup segala
lentera jiwanya, dan tentu yang lebih penting adalah mereka yang mau berkarya
dalam totalitas pelayanan bagi sesama dan gereja, tidak peduli apapun ‘pakaian
dan jabatannya’, tapi mereka yang memikirkan manusia dan gereja dalam hidupnya.
Inilah esensi dari
pelayanan kepada Tuhan.
Apakah kita sedang bermimpi?
Barangkali! Tapi ingat, karya besar seringkali berawal dari secuil mimpi!
Akhir kata, HAPPY 25th ANNIVERSARY Sr. GABRIELLA, CB.
Semoga perayaan pesta
perak ini menjadi momentum bagi kita semua untuk bisa menemukan lentera jiwa
kita, seperti yang diteladankan Sr. Gaby selama ini, dan untuk kemudian bisa
membawa setiap pribadi ke arah hidup yang lebih baik.
Salam kasih dari kami
semua.
0 komentar:
Posting Komentar